Minggu, 22 Agustus 2021

DASAR HUKUM LAUT INDONESIA

 Pengertian Hukum Laut

Hukum Laut adalah himpunan peraturan-peraturan termasuk perintah- perintah dan larangan-larangan yang bersangkut paut dengan lingkungan Laut dalam arti luas, yang mengurus tata tertib dalam masyarakat Laut dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu (Jordan Eerton,2004).

Sejarah Hukum Laut Internasional

UNCLOS I (1958) di Genewa, UNCLOS II (1960), UNCLOS III (1982) di Montego Bay, Jamaica. Sebagian besar hasil perjuangan bangsa Indonesia mengenai hukum laut Internasional tercantum dalam konfrensi PBB tentang hukum laut yang dikenal dengan United Nation Conferention on The Law of The Sea (Unclos) III tahun 1982 yang selanjutnya disebut hukum laut (Hukla) 1982. 

Deklarasi Djuanda

Deklarasi Djuanda dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja. Bunyi dari Deklarasi Djuanda yaitu “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia”. Konsepsi negara kepulauan terdapat di dalam konvensi hukum laut 1982 dan UU no 4 PRP tahun 1960.

Dua konsepsi dasar tentang lautan yang berkembang sejak abad XVII yaitu :
1. Res Nullius : yang menyatakan bahwa lautan itu tidak ada yang memiliki, karena itu negara atau bangsa yang berdekatan boleh memilikinya.
2. Res Comunis : yang menyatakan bahwa lautan itu adalah milik bersama, karena itu tidak boleh dimiliki oleh negara atau bangsa manapun. Dalam hal ini Rezim hukum laut yang dimaksudkan ternyata cenderung terpengaruh oleh konsepsi dasar Res Nulius meskipun terbatas (3 mil laut).

Perbedaaan wilayah laut Indonesia sebelum Deklarasi Djuanda dan setelah konsepsi negara kepulauan diterima dan terdapat di dalam konvensi hukum laut (UNCLOS) 1982 


Pembagian Wilayah Laut Indonesia 

Sesuai dengan Hukum Laut Internasional yang telah disepakati oleh PBB tahun 1982 berikut ini adalah pembagian wilayah laut menurut konvensi Hukum Laut PBB :

1.    Perairan Pedalaman (Internal Water)

Perairan pedalaman adalah bagian dari laut yang berkaitan langsung dengan daratan yang dipandang sebagai bagian dari daratan tersebut. Perairan pedalaman ini secara geometrik merupakan perairan yang ada di dalam teluk, sungai dan pelabuhan. Menurut pasal 8 UNCLOS 1982 Internal water (laut pedalaman) adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut. Sedangkan pasal 3 ayat (4) UU No. 6/1996 menegaskan bahwa perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.

2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Sea)

Perairan kepulauan adalah perairan yang ada di dalam wilayah negara yang dibatasi oleh batas perairan pedalaman (closing line) dan garis dasar.  

3. Laut Teritorial (Territorial Sea)

Laut Teritorial adalah bagian laut selebar 12 mil yang diukur dari garis dasar ke arah laut. Dalam wilayah laut teritorial ini pemerintah memiliki kedaulan penuh atas wilayah laut teritorial dan berlak hak   linta laut   dama bagi kepentingan internasional. Negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (Pasal 3 Konvensi Hukum laut 1982).

4. ZEE  (200 mil) (Zone Economic Exclusive)

ZEE adalah bagian laut selebar 200 mil dari garis dasar (Pasal 57 Konvensi Hukum laut 1982). Zona ekonomi eksklusif adalah daerah di luar dan berdamping dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus di mana terdapat hak-hak dan yurisdiksi negara pantai, hak dan kebebasan negara lain yang diatur oleh konvensi.

5. Laut Bebas  (High Sea)

Laut lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara dan perairan kepulauan dalam Negara kepulauan (Pasal 86 Konvensi Hukum Laut 1982).

Gambar. Pembagian Wilayah Laut Menurut UNCLOS 1982

Alur Laut Kepulauan Indonesia

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
 adalah alur laut yang ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing diatas laut tersebut untuk dilaksanakan pelayaran dan penerbangan damai dengan cara normal. Penetapan ALKI dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat terselenggara secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan ruang udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. ALKI menjadi sangat penting karena letak posisi NKRI antara 2 benua dan 2 samudera menjadikan posisi yang sangat strategis dalam berbagai sudut pandang. Semua kapal dan pesawat udara asing yang mau melintas ke utara atau ke selatan harus melalui ALKI.

ALKI adalah alur laut kepulauan yang melalui perairan kepulauan Indonesia yang ditetapkan oleh Pemerintah NKRI dengan IMO pada tanggal 19 mei 1998.
ALKI merupakan konsensus yang ditetapkan pada Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002 dengan membagi wilayah Indonesia untuk dilewati oleh 3 jalur ALKI yaitu:
  1. ALKI I : Selat Sunda – Selat Karimata – Laut Jawa – Laut Cina Selatan
  2. ALKI II : Selat Lombok – Selat Makassar – Laut Sulawesi
  3. ALKI III-A : Laut sawu – Selat Ombai – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – LAut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik
    ALKI III-B : Laut Timor – Selat Leti – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – Laut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik
    ALKI III-C : Laut Arafuru – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – Laut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik 

Gambar. Peta Jalur ALKI di Indonesia

Peraturan mengenai penentuan jalur ALKI baru diatur lebih lanjut dalam UNCLOS’82 pasal 53 ayat 1, yaitu ” suatu Negara Kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan yang cocok untuk digunakan lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya. Ada 19 (sembilan belas) persyaratan yang harus dipatuhi oleh kapal dan pesawat udara yang melaksanakan hak lintas Alur Kepulauan Indonesia meliputi :

  1. Kapal-kapal di ALKI tidak akan mengganggu atau mengancam kedaulatan, integritas teritorial atau kemerdekaan dan persatuan nasional Indonesia. Kapal-kapal tersebut tidak akan melaksanakan setiap tindakan yang berlawanan dengan pirnsip-prinsip hukum internasional seperti yang ditetapkan dalam piagam PBB.
  2. Pesawat terbang di dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan tidak dibolehkan untuk terbang di luar alur laut (diatas atau dengan pengecualian rejim ICAO) dan pesawat terbang tidak diijinkan terbang terlalu dekat dengan pulau-pulau atau daratan di dalam teritorial Indonesia, termasuk daerah dalam ALKI.
  3. Pesawat terbang sipil asing yang melalui ALKI harus mengikuti aturan-aturan penerbangan sipil internasionl seperti yang ditetapkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization).
  4. Kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing ketika sedang melewati alur laut, tidak dibolehkan melaksanakan latihan perang-perangan.
  5. Kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing, yang merupakan satuan-satuan kapal perang asing, di samping kepal-kapal yang menggunakan tenaga nuklir, yang sedang melewati alur laut, diharapkan untuk memberitahukan kepada Pemerintah Indonesia (yaitu Panglima TNI) terlebih dahulu untuk kepentingan keselamatan pelayaran dan untuk mengambil tindakan pemulaan yang diperlukan jika terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan.
  6. Kapal-kapal yang membawa bahan nuklir diharuskan mempunyai peralatan perlindungan keamanan dan tetap berhubungan dengan TNI AL, sesuai dengan konvesi perlindungan fisik bahan-bahan nuklir.
  7. Pesawat terbang militer asing yang terbang di atas ALKI harus memperhatikan keselamatan penerbangan sipil dan tetap berhubungan dengan ATC (Air Traffic Control) yang berwenang di samping memantau frekuensi darurat.
  8. Kapal-kapal asing atau pesawat terbang yang sedang transit sebaiknya bergerak secara hati-hati di ALKI yang penuh dengan kegiatan ekonomi (baik perikanan atau pertambangan). Untuk itu, kapal atau pesawat terbang yang sedang transit memperhatikan aturan-aturan yang menetapkan batas daerah pelayaran 1.250 m dari instalasi minyak dan gas, dan dilarang memasuki batas daerah aman 500 m sekitar instalasi minyak dan gas dan selalu memperhatikan dan berhati-hati terhadap pipa dan kabel laut.
  9. Kapal-kapal ikan asing harus tetap menyimpan peralatan penangkapan ikan sewaktu transit, dan dilarang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan ketika transit.
  10. Kapal-kapal yang melintas transit diperairan alur laut harus berhati-hati dan harus menggunakan peraturan sistem keselamatan navigasi internasional, serta dapat menunjukkan kemampuan sebagaimana kapal setempat atau sebagaimana nelayan dan pelaut setempat.
  11. Setiap kapal-kapal yang melintas transit dilarang membuang benda-benda sisa beracun atau benda berbahaya seperti sampah di perairan Indonesia.
  12. Setiap kapal dilarang untuk melakukan pembersihan tangki-tangki kapal atau mengotori wilayah perairan Indonesia di saat melakukan lintas transit.
  13. Pada saat kapal-kapal melintas tidak diizikan untuk berhenti atau membuang sauh atau bergerak dengan formasi zig-zag berbolak-balik kecuali bila menghadapi situasi darurat atau situasi sulit.
  14. Kapal-kapal yang melintas transit tidak diizinkan untuk menurunkan personel, material atau melakukan pemindahan/transfer personel dari dan ke kapal lain atau melayani berbagai kegiatan yang bertentangan dengan aturan-aturan keimigrasian, kepabeanan dan perekonomian ataupun kondisi kesehatan di wilayah Indonesia.
  15. Kapal-kapal dan pesawat terbang yang melintas transit tidak diizinkan untuk memberikan bantuan dan pelayanan pada pekerjaan survei atau penelitian ilmu pengetahuan kelautan, termasuk melakukan pengambilan contoh yang bertujuan untuk melakukan penyelidikan bersamaan dengan saat melintas, tidak seharusnya melakukan kegiatan yang berbentuk aktivitas survei atau penelitian ilmu pengetahuan kelautan meliputi perairan alur laut Indonesia dan juga wilayah yang berada diatasnya.
  16. Kapal-kapal dan pesawat terbang yang melintas transit dilarang melakukan pemancaran siaran-siaran yang tidak mendapat ijin atau memancarkan gelombang elektromagnetik yang dimungkinkan akan mengganggu sistem telekomunikasi nasional dan dilarang mengadakan komunikasi langsung dengan pihak-pihak perorangan atau kelompok-kelompok yang tidak memiliki ijin resmi di wilayah Indonesia.
  17. Kapal-kapal yang melintas transit harus selalu memenuhi peraturan keselamatan navigasi internasional yang telah ditentukan.
  18. Awak kapal yang memiliki muatan kapal dapat dikenakan denda baik secara individu maupun secara kelompok bila menimbulkan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh mereka. Mereka harus mempunyai nilai asuransi yang cukup mampu untuk membayar atas kerusakan yang ditimbulkannya, termasuk kerusakan lingkungan laut sebagai akibat dari kerusakan lingkungan.
  19. Untuk tujuan keselamatan navigasi dan untuk keselamatan di wilayah Indonesia, maka setiap kapal tanker asing, kapal penjelajah yang menggunakan energi nuklir, kapal penjelajah asing yang membawa muatan yang mengandung nuklir atau material berbahaya lain, kapal ikan asing dan termasuk kapal perang asing yang melintas di perairan Indonesia dari perairan ZEE atau dari wilayah laut lepas atau dari perairan ZEE menuju keperairan laut lepas dan melintasi perairan Indonesia hanya diijinkan melintas melalui alur laut yang sudah ditentukan.













Senin, 25 Januari 2021

PERJANJIAN KERJA LAUT (PKL)

   PERJANJIAN KERJA LAUT (PKL)

 

Perjanjian kerja laut adalah suatu perjanjian atau persetujuan antara seseorang dengan majikan dan dengan perjanjian itu seseorang tadi mengikatkan diri kepada majikan untuk bekerja menurut ketentuan yang berlaku. Sedangan menurut Pasal 1 PP No. 7 tahun 2000 tentang kepelautan hanya memberikan pengertian secara eksplisit dan singkat yaitu perjanjian kerja laut adalah perjanjian kerja perseorangan yang ditanda tangani oleh pelaut Indonesia dengan pengusaha angkutan di perairan. Di Indonesia terdapat dua jenis PKL yaitu:

1.  PKL nasional diberlakukan untuk para pelaut Indonesia yang bekerja di kapal milik perusahaan dalam negeri (di kapal berbendera Indonesia)

2.  PKL asing berdasarkan KUHD diberlakukan kepada pelaut Indonesia yang akan bekerja pada kapal milik perusahaan asing (berbendera asing)

Di dalam implementasinya kewenangan atas penyelenggaraan PKL tersebut dilaksanakan oleh petugas yang dirujuk antara lain syahbandar. PKL merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum kepada awak kapal yang dapat dijadikan sebagai alat bukti bila terjadi perselisihan dengan perusahaan pengguna awak kapal. Untuk ABK penandatanganan dilakukan di depan syahbandar dan dibacakan tentang perjanjiannya pasal demi pasal, sedang perwira tidak perlu dibuat di depan syahbandar karena sudah dianggap mengetahui tentang peraturan dan undang-undangnya. Syarat-syarat PKL yaitu:

1.       Dibuat dan ditanda tangani kedua belah pihak

2.       Ditanda tangani oleh Syahbandar

3.       Dibiayai oleh pemerintah

A. Bentuk – bentuk dan Isi PKL

Bentuk - bentuk PKL terdiri dari :

1.   Berdasarkan waktu atau periode

a. PKL Trip yaitu PKL yang berdasarkan pelayarannya dari pelabuhan satu ke pelabuhan lain, biasanya disebutkan ketentuan kapal dan trayeknya

b.  PKL Periode yaitu PKL menurut waktu tertentu

c.  PKL tak tertentu yaitu PKL yang tidak ditetapkan masa berlakunya dan berakhir sesuai  dengan persetujuan kedua belah pihak

2.   Berdasarkan sudut perbedaan dalam undang-undang

a.  PKL untuk nahkoda

b. PKL untuk ABK

Perbedaan dalam undang-undang yaitu yang menyangkut alasan-alasan yang sah ketika terjadi  pemutusan tenaga kerja.

3.  Berdasarkan pihak yang mengikatkan diri

a. PKL pribadi, yaitu PKL antara seseorang dengan majikan

b. PKL Kolektif yaitu antara gabungan pelaut dengan gabungan majikan/pengusaha

Adapun isi PKL meliputi (pasal 400 & 401 KUHD) :

1.       Nama pelaut

2.       Umur dan tanggal lahir

3.       Jabatan di atas kapal

4.       Tempat dan tanggal dibuat perjanjian

5.       Nama kapal dimana pelaut akan bekerja

6.       Periode atau waktu atau trip

7.       Gaji pelaut dan jaminan-jaminan lainnya

8.       Pernyataan apakan pelaut juga mengikatkan diri dengan tugas lainnya selain tugas utama

9.       Nama syahbandar yang ikut menanda tangani

10.   Tanggal saat perjanjian mulai berlaku

11.  Pernyataan mengenai undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam penentuan hak dan kewajiban  juga mengenai pemutusan hubungan kerja

12.      Tanda tangan pelaut, majikan dan syahbandar

13.      Tanggal ditanda tangani dan di syahkan oleh PKL tersebut

B. Mengakhiri Perjanjian Kerja Laut

PKL berakhir dapat terjadi karena berbagai alasan antara lain :

1.       Alasan Wajar / biasa (psl 1603 KUH Perdata)

a.       Masa pkl telah berakhir, dan PKL bisa di perpanjang

b.       Pelaut meninggal dunia

c.       Persetujuan kedua belah pihak

d.       Perjanjian tidak sah

e.       Salah satu pihak tidak setuju selama masa percobaan

f.        Perusahaan dilikuidasi

2.       Alasan mendesak untuk majikan (psl 1603 KUH Perdata dan 418).

a.       ABK menganiaya Nakhoda atau pelayar lainnya.

b.       Pelaut datang terlambat atau tidak datang ke kapal tanpa ijin Nakhoda

c.       Menyelundupkan barang tanpa sepengetahuan Nakhoda atau pengusaha kapal

d.       Memberi keterangan palsu sehubungan dengan PKL nya.

e.  Kurang cakap, suka mabuk minuman, bertingkah laku tidak senonoh walaupun sudah diperingatkan,

f.        Melakukan pencurian, pengelapan, dan kejahatan lainnya

g.       Merusak barang milik majikan secara sengaja.

h.       Menolak perintah dan melalaikan perintah yang merupakan tanggung jawabnya.

3.     Surat keterangan berhenti

Pada tiap akhir PKL pengusaha / majikan wajib memberikan surat keterangan berhenti bila dikehendaki oleh pelaut, pada surat keterangan berhenti dicantumkan keterangan mengenai :

1.    Jenis pekerjaan yang telah di lakukan pelaut.

2.    Lama bekerja

3.    Bukti diri pelaut

4.    Konduite

5.    Alasan pemutusan hubungan kerja (PHK)

6.    Tanggal dan tanda tangan

3.3.   Hak Dan Kewajiban Anak Buah Kapal

A.   Hak-hak Anak Buah Kapal

Pada dasarnya hak-hak anak buah kapal, baik itu nahkoda, kelasi adalah sama walaupun ada perbedaan sedikit namun tidak begitu berarti. Setiap awak kapal berhak mendapatkan kesejahteraan yg meliputi:

1.    Gaji

2.    Jam kerja dan jam istirahat.

3.    Jaminan pemberangkatan ketempat tujuan dan pengembalian ke tempat asal.

4.    Kompensasi apabila kapal tidak dapat beroperasi karena mengalami kecelakaan.

5.    Kesempatan mengembangkan karier.

6.    Pemberian akomodasi,fasilitas rekreasi,makanan atau minuman  dan

7.    Pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi kecelakaan kerja.

Hak disebutkan dalam pasal 18 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2000 tentang Kepelautan antara lain :

1. Hak atas Upah

Besarnya upah yang diperoleh anak buah kapal didasarkan atas perjanjian kerja laut, sepanjang isinya sepanjang tidak bertentangan dengan Undang – undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, tidak bertentangan dengan PP No. 7 tahun 2000 tentang Kepelautan, dan tidak bertentangan dengan Peraturan Gaji Pelaut. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1), (2), PP No.7 tahun 2000, upah tersebut didasarkan atas:

     a.   8 jam kerja setiap hari
b.  44 jam perminggu
c.   Istirahat sedikitnya 10 jam dalam jangka waktu 24 jam
d.   Libur sehari setiap minggu
e.   Ditambah hari–hari libur resmi

Ketentuan di atas tidak berlaku bagi pelaut muda, artinya mereka berumur antara 16 tahun sampai 18 tahun, tidak boleh bekerja melebihi 8 jam sehari dan 40 jam seminggu serta tidak boleh dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali dalam pelaksanaan tugas darurat demi keselamatan berlayar. Dalam perjanjian kerja laut upah yang dimaksud tidak termasuk tunjangan atas upah lembur atau premi sebagaimana diatur dalam Pasal : 402,  409,  dan  415  Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).

Biasanya jumlah upah yang diterima anak buah kapal paling sedikit adalah yang sesuai dengan yang teruang dalam PKL, kecuali upah yang dipotong untuk hal-hal yang sudah disetujui oleh ABK tersebut atau pemotongan yang didasarkan pada hukum yang berlaku. Pengaturan mengenai pemotongan tersebut menurut Pasal 1602r KUHP, adalah sebagai berikut:

     a. Ganti rugi yang harus dibayar
     b. Denda–denda yang harus dibayarkepada perusahaan yang harus diberi tanda terima oleh perusahaan  (Pasal  1601s KUHPerdata)
     c.  Iuran  untuk  dana  (Pasal  1601s KUHP)
     d. Sewa rumah atau lain–lain yang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar kepentingan dinas.
     e. Uang Muka (Persekot) atas upah yang telah diterimanya.
     f. Harga pembelian barang–barangyang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar kepentingan dinasnya
    g. Kelebihan pembayaran upah-upah yang lalu.
    h. Biaya pengobatan yang harus dibayar oleh anak  buah kapal (Pasal 416 KUHD)
    i. Istri atau anggota keluarga lainnyasampai dengan keempat dengan jumlah maksimum 2/3 dari upah (Pasal 444-445 KUHD).

Selain, pemotongan-pemotongan tersebut diatas, maka besarnya upah anak buah kapal juga  dapat  berkurang disebabkan, antara lain:

     a.  Denda oleh nahkoda sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
b.  Pengurangan upah karena sakit yang sampai  membuat anak buah kapal tidak dapat bekerja
c.  Perjalanan pelayaran terputus.
d.  Ikatan kerja terputus karena alasan–alasan yang sah.

Selain itu juga harus diperhatikan bahwa upah ABK dapat bertambah besarnya karena:

a.  Pengganti libur yang seharusnya dinikmati anak buah kapal akan tetapi tudak diambilnya (Pasal 409 dan 415KUHD) atau atas permintaan pengusaha angkutan perairan paling sedikit 20 hari kalender untuk setiap jangka waktu 1 tahun bekerja akan mendapatkan imbalan upah sejumlah cuti yang   tidak dinikmati (Pasal   24 Peraturan Pemerintah)

b. Pembayaran waktu tambahan pelayaran, jika perjanjian kerja laut untuk suatu pelayaran karena suatu kerusakan sehingga terpaksa berhenti di pelabuhan darurat (Pasal 423 KUHD)

c. Pembayaran kerja lembur, yaitu jam  kerja  melebihi  jam kerja wajib. Khusus untuk upah lebur hari minggu dihitung dua kali lipat pada hari biasa. Menurut Pasal 22 PP No. 7 tahun 2000 tentang Kepelautan, perhitungan upah lembur sebagai berikut:

Rumus = Upah minimum x 1,25

d. Pembayaran istimewa, karena mengangkut muatan berbahaya, menunda menyelamatkan kapal lain atau mengangkut muatan muatan di daerah yang sedang perang, kecuali untuk tugas negara (Pasal 452f KUHD)

e. Mengemban tugas yang lebih tinggi yang tidak bersifat insidentil, seperti Mualim II (Pasal 443 KUHD).

f. Kenaikan upah minimum yang ditetapkan oleh negara.

g. Kelambatan pembayaran upah dari waktu biasa (Pasal 1801 dan 1602n KUHP) jika itu sebagai akibat dari kelalaian perusahaan pelayaran (Pasal 1602q KUHP dan Pasal 452c KUHD)

h. Tidak diberikan makanan sebagaimana ditetapkan yang menjadi hak anak buah kapal (Pasal 436 dan 437 KUHD)

2.   Hak atas tempat tinggal dan makan

Peraturan mengenai hak tempat tinggal dan makan bagi anak buah kapal diatur pada pasal 436-438 dan pasal 13 Schepelingen Ongevalien (SO) 1935. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, anak buah kapal berhak atas tempat tinggal yang baik dan layak serta berhak atas makan yang pantas yaitu cukup untuk kebutuhan tubuh dan dihidangkan dengan baik dan menu yang bervariasi setiap hari. Ketentuan ini dipertegas dalam PP No. 7 tahun 2000 tentang Kepelautan pasal 25, yaitu :

a. Pengusaha atau perusahaan angkutan di perairan wajib menyediakan alat – alat makanan, alat-alat pelayanan dalam jumlah yang cukup dan layak untuk setiap pelayaran bagi setiap anak buah kapal.

b. Makanan harus memenuhi jumlah, serta nilai gizi dengan jumlah minimum 3.600 kalori per hari yang diperlukan ABK agar   tetap   sehat   dalam melakukan tugasnya.

c. Air tawar harus tetap tersedia di kapal dengan cukup dan memenuhi standar kesehatan

Apabila ketentuan diatas dilanggar maka dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum, dimana anak buah kapal dapat melakukan pemaksaan terhadap perusahaan pelayaran untuk membayar perusahaan pelayaran untuk membayar ganti rugi terhadap kerugian yang diderita.

3. Hak Cuti

Ketentuan yang mengatur tentang hak cuti anak buah kapal terdapat dalam pasal-pasal 409 dan 415 KUH Dagang, yang prinsipnya sama dengan cuti yang diberikan kepada tenaga kerja di perusahaan pada umumnya. Pasal 409 KUHD menyebutkan: “ Bilamana nahkoda atau perwira kapal telah bekrja selama setahun berturut-turut / terus menerus, maka mereka berhak  atas cuti selama 14 hari atau bila dikehendaki pengusaha pelayaran bisa dilakukan dua kali, masing-masing delapan hari. Ini dilakukan mengingat kepentingan operasional kapal atau permintaan nahkoda”

Hak cuti ini gugur bila diajukan sebelum satu tahun masa kerjanya berakhir. Dan haik ini berlaku untuk perjanjian kerja laut yang didasarkan atas pelayaran. Pasal 415 KUHD menyebutkan : “Bilamana  anak  buah  kapal  telah  bekerja  selama setahun terus menerus sedangkan perjanjian kerja lautnya bukan perjanjian kerja laut pelayaran, maka berhak atas cuti 7 hari kerja atau dua kali lima hari kerja dengan upah penuh”. 

4. Hak waktu sakit atau kecelakaan

Pengertian sakit dalam perjanjian kerja laut dilihat dari sebab- sebabnya antara lain meliputi:

(1).   Sakit Biasa

Seorang anak buah kapal apabila sewaktu bertugas menderita sakit maka berhak atas:

a.  Pengobatan sampai sembuh, akan tetapi paling  lam 52 minggu bilamana diturunkan dalam kapal, demikian juga bila dia tetap berda di kapal berhak mendapatkan pengobatan sampai sembuh ( Pasal 416 KUHD)

b. Pengangkutan cuma-cuma kerumahsakit atau ke kapal lain di mana ia akan dirawat dan ketempat ditandatangani perjanjian kerja laut (Pasal 416 KUHD)

Selama anak buah kapal sakit atau kecelakaan ia berhak atas upah sebesar 80 % dengan syarat tidak lebih dari 28  minggu  (Pasal 416a KUHD), dan jaminan diperoleh disamping biaya perawatan sampai sembuh. Pasal tersebut mensyaratkan bahwa anak buah kapal mengadakan perjanjian kerja laut untuk waktu paling sedikit satu tahun atau bekerja terus menerus selama paling sedikit satu setengah tahun. Demikian juga sebaliknya, Pasal 416b KUHD menentukan bahwa jika anak buah kapal mengadakan perjanjian kerja laut kurang dari satu tahun, maka ia hanya mendapat perawatan sampai sembuh, dan upah yang diterima diperhitungkankan dengan interval waktu tidak kurang dari 4 (empat) minggu tapi tidak lebih dari 26 (dua puluh enamminggu. Jaminan-jaminan dalam hal perawatan dapat ditolak oleh perusahaan pelayaran, apabila:

a.    Anak buah kapal menolak menghindari pengobatan dokter atau lalai mengobatkan diri ke dokter.

Menurut ketentuan Pasal 416f KUHD, tunjangan atau upah dapat tidak dibayar oleh perusahaan pelayaran atau dikurangi jumlahnya bila sakitnya atau kecelakaan yang terjadi karena adanya factor kesengajaan atau akibat kerja yang kasar atau tidak hati-hati dari anak buah kapal.

(2).   Sakit karena kecelakaan

Berdasarkan Pasal 1602 KUHP, anak buah kapal yang mengalami sakit karena kecelakaan maka berhak atas:

    a. Tuntutan   ganti   rugi   bila   terbukti kecelakaan   tersebut disebabkan oleh kelalaian pihak perusahaan pelayaran
b. Jika kecelakaan menimpa anak buah kapal dan mengakibatkan meninggal, maka ganti ruginya diberikan kepada ahli warisnya
c. Penggantian  akibat  kecelakaan ditambah  dengan  hak-hak atas perawatan.

(3).   Kapal tenggelam

Pada umumnya hampir semua kapal yang beroperasi diasuransikan. Awak kapal termasuk nahkoda dijaminkan P&I Club (Protection and Indernity Club). Jaminan yang diberikan kepada ABK disesuaikan dengan perundang–undangan negara mengenai ABK yang bersangkutan. Jadi jika kapal tenggelam tidak akan memberatkan perusahaannya. Ketentuan Pasal 452g KUHD, bahwa perusahaan wajib memberikan ganti rugi kepada ABK berupa:

a. Jumlah upah sampai dia tiba kembali di tempat dimana PKL ditanda tangani
c. Ganti rugi akibat kelalaian perusahaan pelayaran berupa barang milik ABK dan kerugian lainnya  ( Pasal 160w KUHP).
d. Bila ABK meninggal dunia, maka perusahaan pelayaran berkewajiban menanggung biaya penguburan atau pembuangan jenazah ke laut (Pasal   440   KUHD).

Ø Berdasarkan pasal 30 PP. RI. No. 7 tahun 2000 tentang kepelautan menyebutkan :

(1)  Jika awak kapal setelah dirawat akibat kecelakaan kerja menderita cacat tetap yang mempengaruhi kemampuan kerja besarnya santunan ditentukan :

a. Cacat tetap yang mengakibatkan kemampuan kerja hilang 100% besarnya santunan minimal Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah);

b. Cacat tetap yang mengakibatkan kemampuan kerja berkurang besarnya santunan ditetapkan persentase dari jumlah sebagaimana ditetapkan dalam huruf a sebagai berikut :

§  Kehilangan satu lengan : 40%;

§  Kehilangan dua lengan : 100%;

§  Kehilangan satu telapak tangan : 30%;

§  Kehilangan kedua telapak tangan : 80%;

§  Kehilangaan satu kaki dari paha : 40%;

§  Kehilangan dua kaki dari paha : 100%;

§  Kehilangan satu telapak kaki : 30%;

§  Kehilangan dua telapak kaki : 80%;

§  Kehilangan satu mata : 30%

§  Kehilangan dua mata : 100%;

§  Kehilangan pendengaran satu telinga : 15%;

§  Kehilangan pendengaran dua telinga : 40%; 

§  Kehilangan satu jari tangan : 10%;

§  Kehilangan satu jari kaki : 5%;

(2) Jika awak kapal kehilangan beberapa anggota badan sekaligus besarnya santunan ditentukan dengan menjumlahkan persentase dengan ketentuan tidak melebihi jumlah sebagaimana ditetapkan dalam ayat (1) huruf a.

Ø Berdasarkan Pasal 31 (PP. No. 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan.)

(1) Jika awak kapal meninggal dunia di atas kapal, pengusaha angkutan di perairan wajib menanggung biaya pemulangan dan penguburan jenazahnya ke tempat yang dikehendaki oleh keluarga yang bersangkutan sepanjang keadaan memungkinkan.

(2) Jika awak kapal meninggal dunia, pengusaha angkutan di perairan wajib membayar santunan :

a. Untuk meninggal karena sakit besarnya santunan minimal Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

b. Untuk meninggal dunia akibat kecelakaan kerja besarnya santunan minimal Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

(3) Santunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5. Hak atas pengangkutan waktu dipulangkan

B. Kewajiban Anak Buah Kapal

1.    Taat kepada perintah atasan, teristimewa  menjalankan   perintah-perintah nahkoda (Pasal 384 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).

2.    Meninggalkan kapal (turun ke darat) harus dengan ijin Nakhoda atau yang mewakilinya (Pasal 385 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).

3.    Tidak membawa barang dagangan, minum-minuman keras, dan senjata (api) di atas kapal dalam rangka turut menciptakan keamanan dan ketertiban diatas kapal (Pasal  391 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).

4.    Melakukan tugas tambahan atau kerja lembur jika dianggap perlu oleh Nakhoda

5.    Turut membantu menyelamatakan kapal, penumpang, dan muatannya, dalam kecelakaan kapal (Pasal 452/c Kitab Undang-undang Hukum Dagang)

6.    Menyediakan   diri   untuk   nahkoda   selama 3   hari   setelah   habis kontraknya untuk kepentingan membuat kisah kapal (Pasal 452/b KUHD).

Untuk dapat bekerja sebagai awak kapal, wajib memenuhi persyaratan:

1.    memiliki Sertifikat Keahlian Pelaut dan/atau Sertifikat Keterampilan Pelaut;

2.    berumur sekurang-kurangnya 18 tahun;

3.    sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan yang khusus dilakukan untuk itu;

4.    disijil.

Untuk memenuhi persyaratan tersebut, pelaut kapal ikan Indonesia diharuskan memiliki sertifikasi kepelautan berstandar, baik itu untuk level Nakhoda, Perwira ataupun Anak Buah Kapal (ABK).

Sertifikat Kepelautan :

a.         Sertifikat Keahlian Pelaut (Certificate Of Competency / COC)

Sertifikat Keahlian Pelaut Nautika

Sertifikat Ahli Nautika Tingkat I ( ANT I )

Sertifikat Ahli Nautika Tingkat II ( ANT II )

Sertifikat Ahli Nautika Tingkat III ( ANT III )

Sertifikat Ahli Nautika Tingkat IV ( ANT IV )

Sertifikat Ahli Nautika Tingkat Dasar ( ANT Dasar)

Sertifikat Untuk Kapal Penangkap Ikan antara Lain

Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan Tingkat I (ANKAPIN I)

Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan Tingkat II ((ANKAPIN Ii)

Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan Tingkat III (ANKAPIN III)

Catatan :

Sertifikat Ahli Nautika Tingkat Dasar (ANT Dasar) adalah Sertifikat Keahlian sebagai Rating bagian Deck.

Sertifikat Keahlian Pelaut Teknik Permesinan

Sertifikat Ahli Teknika Tingkat I ( ATT I )

Sertifikat Ahli Teknika Tingkat II ( ATT II )

Sertifikat Ahli Teknika Tingkat III ( ATT III )

Sertifikat Ahli Teknika Tingkat IV ( ATT IV )

Sertifikat Ahli Teknika Tingkat Dasar ( ATT Dasar)

 

Untuk Sertifikat Kapal Perikanan

Sertifikat Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan Tingkat I (ATKAPIN I)

Sertifikat Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan Tingkat II (ATKAPIN II)

Sertifikat Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan Tingkat III (ATKAPIN III)

Catatan :

Sertifikat Ahli Teknika Tingkat Dasar (ATTDasar) adalah Sertifikat Keahlian sebagai Rating bagian Mesin.

Sertifikat Keahlian Pelaut Radio Elektronika

Sertifikat Ahli Elektronika I ( REKI )

Sertifikat Ahli Elektronika II ( REKII )

Sertifikat Operator Radio Umum  ( ORU)

Sertifikat Operator Radio Terbatas    ( ORT )

b.     Sertifikat Keterampilan Pelaut (  Certificate Of Proficiency / COP)

Jenis Sertifikat Keterampilan Pelaut sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari:

a.    Sertifikat Keterampilan Dasar Pelaut;

b.    Sertifikat Keterampilan Khusus.

Sertifikat Keterampilan Dasar Pelaut sebagaimana dimaksud dalam uraian di atas adalah Sertifikat Keterampilan Dasar Keselamatan (Basic Safety Training).

          Sedangkan Jenis Sertifikat Keterampilan Khusus sebagaimana dimaksud terdiri dari :

a.    Sertifikat Keterampilan Penggunaan Pesawat Luput Maut dan Sekoci Penyelamat (Survival Craft dan Rescue Boats);

b.    Sertifikat Keterampilan Sekoci Penyelamat Cepat (Fast Rescue Boats);

c.     Sertifikat Keterampilan Pemadaman Kebakaran Tingkat Lanjut (Advance Fire Fighting);

d.    Sertifikat Keterampilan Pertolongan Pertama (Medical Emergency First Aid);

e.    Sertifikat Keterampilan Perawatan Medis di atas Kapal (Medical Care on Boats);

f.      Sertifikat Radar Simulator;

g.    Sertifikat ARPA Simulator;

3.4. Pemutusan Hubungan Kerja

Pasal 1 angka (15) UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Jadi, perjanjian kerja merupakan dasar terciptanya hubungan hukum diantara pekerja dengan pengusaha. Hubungan antara pekerja dan pengusaha tersebut dapat terganggu dan berpotensi menimbulkan perselisihan, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah disepakati didalam perjanjian kerja.

Pasal 1 angka (1) UU No 2 Tahun 2004, menyatakan bahwa perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja (buruh)/serikat pekerja (serikat buruh) karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan. Selanjutnya dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa jenis-jenis perselisihan hubungan industrial meliputi; perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan.

Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan melalui mekanisme bipatrit, mediasi, konsiliasi dan arbitrsi. Lebih lanjut, dalam Pasal 8 UU No 2 Tahun 2004, menyebutkan bahwa penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Dengan demikian dapat diketahui bahwa, pihak Disnakertrans merupakan pihak ketiga dalam proses penyelesaian perselisihan antara pekerja dan pengusaha di tingkat mediasi.

Sementara itu, terkait dengan dasar hubungan kerja yang tercipta antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK adalah PKL (Perjanjian Kerja Laut) yang diatur didalam KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang). Pada Pasal 395 KUHD menyebutkan , PKL (Perjanjian Kerja Laut) ialah perjanjian yang dibuat antara seorang pengusaha kapal di satu pihak dan seorang buruh di pihak lain, dengan mana pihak tersebut terakhir menyanggupi untuk bertindak di bawah perintah pengusaha itu melakukan pekerjaan dengan mendapat upah, sebagai nahkoda atau anak-kapal. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam suatu PKL juga terpenuhi unsur-unsur dari suatu perjanjian kerja pada umumnya, yaitu: adanya pekerjaan, perintah dan upah. Atas dasar inilah, maka dapat disimpulkan bahwa pihak Disnakertrans juga memiliki kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK, dengan berdasarkan pada UU Nomor 2 Tahun 2004. PKL berakhir dapat terjadi karena berbagai alasan antara lain :

1.    Alasan Wajar / biasa (psl 1603 KUH Perdata)

a.    Masa pkl telah berakhir, dan PKL bisa di perpanjang

b.    Pelaut meninggal dunia

c.     Persetujuan kedua belah pihak

d.    Perjanjian tidak sah

e.    Salah satu pihak tidak setuju selama masa percobaan

f.      Perusahaan dilikuidasi

2.    Alasan mendesak untuk majikan (psl 1603 KUH Perdata dan 418).

a.    ABK menganiaya Nakhoda atau pelayar lainnya.

b.    Pelaut datang terlambat atau tidak datang ke kapal tanpa ijin Nakhoda

c.     Menyelundupkan barang tanpa sepengetahuan Nakhoda atau pengusaha kapal

d.    Memberi keterangan palsu sehubungan dengan PKL nya.

e.    Kurang cakap, suka mabuk minuman, bertingkah laku tidak senonoh walaupun sudah diperingatkan,

f.      Melakukan pencurian, pengelapan, dan kejahatan lainnya

g.    Merusak barang milik majikan secara sengaja.

h.    Menolak perintah dan melalaikan perintah yang merupakan tanggung jawabnya.

3. Surat keterangan berhenti

Pada tiap akhir PKL pengusaha / majikan wajib memberikan surat keterangan berhenti bila dikehendaki oleh pelaut, pada surat keterangan berhenti dicantumkan keterangan mengenai :

b.    Jenis pekerjaan yang telah di lakukan pelaut.

c.     Lama bekerja

d.    Bukti diri pelaut

e.    Konduite

f.      Alasan pemutusan hubungan kerja (PHK)

g.    Tanggal dan tanda tangan

Kekhususan lainnya dari PKL adalah, di dalam PKL diatur mengenai tempat bekerja, yang adalah di atas sebuah kapal dan selalu berpindah-pindah, tidak dapat dipastikan di mana daerah yang menjadi tujuan, serta di mana perselisihan tersebut terjadi, tidak bisa ditentukan. Misalnya, ABK yang bekerja pada perusahaan pelayaran, dimana tujuan dari perusahaan pelayaran selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ketempat lainnya, sehingga kapan dan dimana terjadi perselisihan antara ABK dengan pihak perusahaan tidaklah tentu, sehingga apabila terjadi perselisihan di daerah yang bukan tempat PKL tersebut dibuat, maka yang digunakan adalah KUHD sebagai dasar hukumnya dan pihak syahbandar sebagai pihak penengahnya. Misalnya, jika PKL dibuat di Ambon, sedangkan perselisihannya terjadi di Surabaya, maka para pihak tidak bisa membawa persoalan ini ke pihak Disnakertrans Kota Ambon untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

Sementara itu, pada perusahaan penangkapan ikan kekhususan tersebut tidak nampak, dimana pada perusahaan penangkapan ikan telah diketahui tujuannya dalam berlayar adalah untuk menangkap ikan pada wilayah-wilayah penangkapan ikan yang berada di perairan Indonesia. Misalnya, perusahaan penangkapan ikan-PT Nusantara Fihery yang berkantor di kota Ambon, tujuannya telah jelas diketahui, yaitu dari pangkalannya di Kota Ambon menuju wilayah penangkapan ikan (misalnya di wilayah perairan Banda), setelah itu kembali lagi ke pangkalannya di Kota Ambon. Sehingga bila terjadi perselisihan antara ABK dengan nahkoda maupun pihak perusahaan, dapat ditentukan tempat perselisihannya. Jika terjadi perselisihan pada saat kapal sedang melakukan operasi penangkapan ikan di laut, maka proses penyelesaiannya dapat dilakukan setelah kapal kembali lagi ke pangkalan atau kantornya di Kota Ambon.

Dengan demikian, terkait dengan ABK yang bekerja pada perusahaan penangkapan ikan seperti PT Nusantara Fishery, sifat kekhususan dari PKL tidaklah nampak. Atas dasar inilah, maka menurut penulis, sifat kekhususan yang dimiliki oleh ABK dan PKL pada umumnya tidak melekat pada seorang ABK yang bekerja pada perusahaan penangkapan ikan, maupun PKL yang dibuat antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK. Sebaliknya, yang nampak dari ABK dan PKL yang dibuat dengan perusahaan penangkapan ikan, adalah lebih menunjukan ciri-ciri dari seorang pekerja pada umumnya.

Terhadap kenyataan ini, maka menurut Soekanto, pelaksanaan asas lex specialis derogat legi generali tidak hanya sebatas ketentuan khusus menyampingkan ketentuan yang sifatnya umum (sederajat), dimana terhadap peristiwa khusus wajib juga diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut dapat pula diberlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas atau lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut (1983:12). Dengan tetap berdasar pada asas lex specialis derogat legi generali (ketentuan yang khusus menyampingkan ketentuan yang sifatnya umum) terkait dengan dualisme pengaturan mengenai proses PHK perusahaan penangkapan ikan terhadap ABK, maka dapat digunakan ketentuan yang sifatnya umum (UU No 2 Tahun 2004) dan khusus (KUHD) secara bersama untuk saling mengisi kekosongan hukum dalam menyelesaikan yang terjadi antara ABK dengan Perusahaan, dengan melibatkan pihak Syahbandar dan pihak Disnakertrans secara bersama-sama sebagai pihak ketiga atau penengah di tingkat mediasi.

Ada dua pihak yang merasa memiliki kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan diantara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK, yaitu pihak Disnakertrans yang diberi kewenangan oleh UU No 2 Tahun 2004 dan pihak Syahbandar yang diberi kewenangan oleh KUHD. Dengan demikan, dalam proses penyelesaian PHK perusahaan penangkapan ikan dengan ABK, maka penyelesaiannya dapat didasarkan pada KUHD dengan UU No 2 Tahun 2004 secara bersama-sama, dengan melibatkan pihak Syahbandar dan pihak Disnakertrans sebagai pihak ketiga dalam proses penyelesaiannya.