PERJANJIAN KERJA LAUT (PKL)
Perjanjian
kerja laut adalah suatu perjanjian atau persetujuan antara seseorang dengan
majikan dan dengan perjanjian itu seseorang tadi mengikatkan diri kepada
majikan untuk bekerja menurut ketentuan yang berlaku. Sedangan menurut Pasal 1 PP No. 7 tahun 2000
tentang kepelautan hanya memberikan
pengertian secara eksplisit dan singkat yaitu
perjanjian kerja laut adalah perjanjian kerja perseorangan
yang ditanda tangani oleh pelaut Indonesia dengan pengusaha angkutan di
perairan. Di Indonesia terdapat
dua jenis PKL yaitu:
1. PKL
nasional diberlakukan untuk para pelaut Indonesia yang bekerja di kapal milik
perusahaan dalam negeri (di kapal berbendera Indonesia)
2. PKL
asing berdasarkan KUHD diberlakukan kepada pelaut Indonesia yang akan bekerja
pada kapal milik perusahaan asing (berbendera asing)
Di dalam implementasinya
kewenangan atas penyelenggaraan PKL tersebut dilaksanakan oleh petugas yang
dirujuk antara lain syahbandar. PKL merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum
kepada awak kapal yang dapat dijadikan sebagai alat bukti bila terjadi
perselisihan dengan perusahaan pengguna awak kapal. Untuk ABK penandatanganan dilakukan di depan syahbandar dan dibacakan tentang perjanjiannya pasal
demi pasal, sedang perwira tidak perlu dibuat di depan syahbandar karena sudah
dianggap mengetahui tentang peraturan dan undang-undangnya. Syarat-syarat
PKL yaitu:
1.
Dibuat
dan ditanda tangani kedua belah pihak
2.
Ditanda
tangani oleh Syahbandar
3.
Dibiayai
oleh pemerintah
A. Bentuk – bentuk dan Isi PKL
Bentuk - bentuk PKL terdiri dari :
1. Berdasarkan
waktu atau periode
a. PKL Trip
yaitu PKL yang berdasarkan pelayarannya dari pelabuhan satu ke pelabuhan lain,
biasanya disebutkan ketentuan kapal dan trayeknya
b. PKL
Periode yaitu PKL menurut waktu tertentu
c. PKL
tak tertentu yaitu PKL yang tidak ditetapkan masa berlakunya dan berakhir
sesuai dengan persetujuan kedua belah
pihak
2. Berdasarkan
sudut perbedaan dalam undang-undang
a. PKL
untuk nahkoda
b. PKL
untuk ABK
Perbedaan dalam undang-undang yaitu yang menyangkut alasan-alasan yang
sah ketika terjadi pemutusan tenaga
kerja.
3. Berdasarkan
pihak yang mengikatkan diri
a. PKL
pribadi, yaitu PKL antara seseorang dengan majikan
b. PKL
Kolektif yaitu antara gabungan pelaut dengan gabungan majikan/pengusaha
Adapun isi PKL meliputi (pasal
400 & 401 KUHD) :
1.
Nama
pelaut
2.
Umur
dan tanggal lahir
3.
Jabatan
di atas kapal
4.
Tempat
dan tanggal dibuat perjanjian
5.
Nama
kapal dimana pelaut akan bekerja
6.
Periode
atau waktu atau trip
7.
Gaji
pelaut dan jaminan-jaminan lainnya
8.
Pernyataan
apakan pelaut juga mengikatkan diri dengan tugas lainnya selain tugas utama
9.
Nama
syahbandar yang ikut menanda tangani
10.
Tanggal
saat perjanjian mulai berlaku
11. Pernyataan
mengenai undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam penentuan hak dan
kewajiban juga mengenai pemutusan
hubungan kerja
12.
Tanda
tangan pelaut, majikan dan syahbandar
13.
Tanggal
ditanda tangani dan di syahkan oleh PKL tersebut
B. Mengakhiri Perjanjian Kerja Laut
PKL berakhir dapat
terjadi karena berbagai alasan antara lain :
1.
Alasan
Wajar / biasa (psl 1603 KUH Perdata)
a.
Masa
pkl telah berakhir, dan PKL bisa di perpanjang
b.
Pelaut
meninggal dunia
c.
Persetujuan
kedua belah pihak
d.
Perjanjian
tidak sah
e.
Salah
satu pihak tidak setuju selama masa percobaan
f.
Perusahaan
dilikuidasi
2.
Alasan
mendesak untuk majikan (psl 1603 KUH Perdata dan 418).
a.
ABK
menganiaya Nakhoda atau pelayar lainnya.
b.
Pelaut
datang terlambat atau tidak datang ke kapal tanpa ijin Nakhoda
c.
Menyelundupkan
barang tanpa sepengetahuan Nakhoda atau pengusaha kapal
d.
Memberi
keterangan palsu sehubungan dengan PKL nya.
e. Kurang
cakap, suka mabuk minuman, bertingkah laku tidak senonoh walaupun sudah
diperingatkan,
f.
Melakukan
pencurian, pengelapan, dan kejahatan lainnya
g.
Merusak
barang milik majikan secara sengaja.
h.
Menolak
perintah dan melalaikan perintah yang merupakan tanggung jawabnya.
3. Surat keterangan berhenti
Pada tiap akhir PKL pengusaha / majikan wajib memberikan surat keterangan
berhenti bila dikehendaki oleh pelaut, pada surat keterangan berhenti
dicantumkan keterangan mengenai :
1.
Jenis
pekerjaan yang telah di lakukan pelaut.
2.
Lama
bekerja
3.
Bukti
diri pelaut
4.
Konduite
5.
Alasan
pemutusan hubungan kerja (PHK)
6.
Tanggal
dan tanda tangan
3.3.
Hak Dan Kewajiban Anak Buah Kapal
A. Hak-hak Anak Buah Kapal
Pada dasarnya hak-hak anak buah kapal, baik itu nahkoda, kelasi adalah sama walaupun ada perbedaan
sedikit namun tidak begitu berarti. Setiap
awak kapal berhak mendapatkan kesejahteraan yg meliputi:
1.
Gaji
2.
Jam kerja
dan jam istirahat.
3.
Jaminan
pemberangkatan ketempat tujuan dan pengembalian ke tempat asal.
4.
Kompensasi
apabila kapal tidak dapat beroperasi karena mengalami kecelakaan.
5.
Kesempatan
mengembangkan karier.
6.
Pemberian
akomodasi,fasilitas rekreasi,makanan atau minuman dan
7.
Pemeliharaan
dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi kecelakaan kerja.
Hak disebutkan dalam pasal 18 ayat 3 Peraturan
Pemerintah No. 7 tahun 2000 tentang Kepelautan antara lain :
1. Hak atas Upah
Besarnya upah yang diperoleh anak buah kapal didasarkan atas
perjanjian kerja laut, sepanjang isinya sepanjang tidak bertentangan dengan Undang
– undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, tidak bertentangan dengan
PP No. 7 tahun 2000 tentang Kepelautan, dan tidak bertentangan dengan Peraturan
Gaji Pelaut. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1), (2), PP No.7 tahun 2000, upah
tersebut didasarkan atas:
a. 8 jam kerja
setiap hari
b. 44 jam perminggu
c. Istirahat
sedikitnya 10 jam dalam jangka waktu 24 jam
d. Libur sehari setiap minggu
e. Ditambah hari–hari libur resmi
Ketentuan di atas tidak berlaku bagi pelaut muda, artinya mereka berumur
antara 16 tahun sampai 18 tahun, tidak boleh bekerja melebihi 8 jam sehari dan
40 jam seminggu serta tidak boleh dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali
dalam pelaksanaan tugas darurat demi keselamatan berlayar. Dalam perjanjian kerja laut upah
yang dimaksud tidak termasuk tunjangan atas upah lembur atau premi sebagaimana diatur dalam Pasal : 402, 409, dan 415 Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).
Biasanya jumlah upah yang diterima anak buah kapal paling sedikit adalah yang sesuai dengan yang teruang dalam
PKL, kecuali upah yang dipotong untuk hal-hal yang sudah
disetujui oleh ABK tersebut atau pemotongan yang didasarkan pada hukum
yang berlaku. Pengaturan mengenai pemotongan tersebut menurut Pasal 1602r KUHP, adalah sebagai
berikut:
a. Ganti rugi yang harus dibayar
b. Denda–denda yang harus dibayarkepada perusahaan yang
harus diberi tanda terima oleh perusahaan (Pasal 1601s
KUHPerdata)
c. Iuran untuk dana (Pasal 1601s KUHP)
d. Sewa rumah atau lain–lain yang
dipergunakan oleh anak buah kapal di luar kepentingan
dinas.
e. Uang Muka (Persekot)
atas upah yang telah diterimanya.
f. Harga pembelian barang–barangyang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar
kepentingan dinasnya
g. Kelebihan pembayaran
upah-upah yang lalu.
h. Biaya pengobatan yang harus dibayar oleh anak buah kapal (Pasal 416 KUHD)
i. Istri atau anggota keluarga lainnyasampai dengan keempat
dengan jumlah maksimum 2/3 dari upah (Pasal 444-445
KUHD).
Selain, pemotongan-pemotongan tersebut
diatas, maka besarnya upah anak buah kapal
juga dapat berkurang disebabkan, antara
lain:
a. Denda oleh nahkoda sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
b. Pengurangan upah karena sakit yang sampai membuat
anak buah kapal tidak dapat bekerja
c. Perjalanan
pelayaran terputus.
d. Ikatan
kerja terputus karena alasan–alasan
yang sah.
Selain itu juga harus diperhatikan bahwa upah ABK
dapat bertambah besarnya karena:
a. Pengganti libur yang seharusnya dinikmati anak buah kapal akan tetapi
tudak diambilnya (Pasal 409 dan 415KUHD) atau atas
permintaan pengusaha angkutan perairan paling sedikit 20 hari kalender
untuk setiap jangka waktu 1 tahun bekerja akan mendapatkan imbalan upah sejumlah
cuti yang tidak dinikmati (Pasal 24 Peraturan Pemerintah)
b. Pembayaran waktu tambahan pelayaran, jika perjanjian
kerja laut untuk suatu pelayaran karena suatu kerusakan sehingga terpaksa
berhenti di pelabuhan darurat (Pasal 423 KUHD)
c. Pembayaran kerja lembur, yaitu jam kerja melebihi jam kerja wajib. Khusus untuk upah
lebur hari minggu dihitung dua kali lipat pada hari biasa. Menurut Pasal 22 PP
No. 7 tahun 2000 tentang Kepelautan, perhitungan upah lembur sebagai berikut:
Rumus
= Upah minimum x
1,25
d. Pembayaran istimewa, karena mengangkut muatan berbahaya, menunda menyelamatkan kapal lain atau
mengangkut muatan muatan di daerah yang sedang perang, kecuali untuk tugas
negara (Pasal 452f KUHD)
e. Mengemban tugas yang lebih tinggi yang tidak bersifat
insidentil, seperti Mualim II (Pasal 443 KUHD).
f. Kenaikan upah minimum yang ditetapkan oleh negara.
g. Kelambatan pembayaran upah dari waktu biasa (Pasal
1801 dan 1602n KUHP) jika itu sebagai akibat dari kelalaian perusahaan
pelayaran (Pasal 1602q KUHP dan Pasal 452c KUHD)
h. Tidak diberikan makanan sebagaimana ditetapkan yang menjadi hak
anak buah kapal (Pasal 436 dan 437 KUHD)
2. Hak atas tempat
tinggal dan makan
Peraturan mengenai hak tempat tinggal dan makan bagi anak buah kapal diatur pada pasal
436-438 dan pasal 13 Schepelingen
Ongevalien (SO) 1935. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, anak buah kapal
berhak atas tempat tinggal yang baik dan layak serta berhak atas makan yang
pantas yaitu cukup untuk kebutuhan tubuh dan dihidangkan dengan baik dan menu
yang bervariasi setiap hari. Ketentuan ini dipertegas dalam PP No. 7 tahun 2000
tentang Kepelautan pasal 25, yaitu :
a. Pengusaha atau perusahaan angkutan di perairan wajib
menyediakan alat – alat makanan, alat-alat pelayanan dalam jumlah yang
cukup dan layak untuk setiap
pelayaran bagi setiap anak buah kapal.
b. Makanan harus memenuhi jumlah,
serta nilai gizi dengan
jumlah minimum 3.600 kalori per hari yang diperlukan ABK agar tetap sehat dalam melakukan
tugasnya.
c. Air
tawar harus tetap tersedia di kapal dengan cukup dan memenuhi standar kesehatan
Apabila ketentuan diatas dilanggar maka dapat dikatakan
sebagai pelanggaran hukum, dimana anak buah kapal dapat melakukan pemaksaan
terhadap perusahaan pelayaran untuk membayar perusahaan pelayaran untuk membayar
ganti rugi terhadap kerugian yang diderita.
3. Hak Cuti
Ketentuan yang mengatur tentang hak cuti anak buah kapal
terdapat dalam pasal-pasal 409 dan 415 KUH Dagang,
yang prinsipnya sama dengan cuti yang diberikan kepada tenaga kerja di
perusahaan pada umumnya. Pasal 409 KUHD menyebutkan:
“ Bilamana nahkoda atau perwira kapal telah bekrja selama setahun
berturut-turut / terus menerus, maka mereka berhak atas cuti selama 14 hari atau bila
dikehendaki pengusaha pelayaran bisa
dilakukan dua kali, masing-masing delapan hari. Ini dilakukan mengingat
kepentingan operasional kapal atau permintaan
nahkoda”
Hak cuti ini gugur bila diajukan sebelum satu tahun masa
kerjanya berakhir. Dan haik ini berlaku untuk perjanjian kerja laut yang
didasarkan atas pelayaran. Pasal 415 KUHD menyebutkan
: “Bilamana anak buah kapal telah bekerja selama setahun
terus menerus sedangkan perjanjian kerja lautnya bukan perjanjian kerja laut
pelayaran, maka berhak atas cuti 7 hari kerja atau dua kali lima hari kerja dengan upah penuh”.
4. Hak waktu sakit atau kecelakaan
Pengertian sakit dalam perjanjian kerja laut
dilihat dari sebab-
sebabnya antara lain meliputi:
(1). Sakit
Biasa
Seorang anak buah kapal apabila sewaktu bertugas menderita sakit maka berhak atas:
a. Pengobatan sampai sembuh, akan tetapi paling lama 52 minggu bilamana
diturunkan dalam kapal, demikian juga bila dia tetap berda di kapal berhak
mendapatkan pengobatan sampai sembuh ( Pasal 416 KUHD)
b. Pengangkutan cuma-cuma kerumahsakit atau ke kapal lain
di mana ia akan dirawat dan ketempat ditandatangani perjanjian kerja laut
(Pasal 416 KUHD)
Selama anak buah kapal sakit atau
kecelakaan ia berhak atas upah sebesar 80 % dengan syarat
tidak lebih dari 28 minggu (Pasal 416a KUHD), dan jaminan
diperoleh disamping biaya perawatan sampai sembuh. Pasal tersebut mensyaratkan
bahwa anak buah kapal mengadakan perjanjian kerja laut untuk waktu paling
sedikit satu tahun atau bekerja terus menerus selama paling sedikit satu
setengah tahun. Demikian juga sebaliknya, Pasal 416b KUHD menentukan bahwa jika anak buah
kapal mengadakan perjanjian kerja laut kurang dari satu tahun, maka ia hanya mendapat
perawatan sampai sembuh, dan upah yang diterima diperhitungkankan dengan
interval waktu tidak kurang dari 4 (empat) minggu tapi tidak lebih
dari 26 (dua puluh enam) minggu.
Jaminan-jaminan dalam hal perawatan dapat ditolak oleh perusahaan pelayaran,
apabila:
a. Anak buah kapal menolak
menghindari pengobatan dokter
atau lalai mengobatkan diri ke dokter.
Menurut ketentuan Pasal 416f KUHD,
tunjangan atau upah dapat tidak dibayar oleh perusahaan pelayaran atau
dikurangi jumlahnya bila sakitnya atau kecelakaan yang terjadi karena adanya
factor kesengajaan atau akibat kerja yang kasar atau tidak hati-hati dari anak buah kapal.
(2). Sakit karena kecelakaan
Berdasarkan Pasal 1602 KUHP,
anak buah kapal yang mengalami sakit karena kecelakaan maka berhak atas:
a. Tuntutan ganti rugi bila terbukti kecelakaan tersebut disebabkan oleh kelalaian pihak
perusahaan pelayaran
b. Jika kecelakaan menimpa anak buah kapal dan
mengakibatkan meninggal, maka ganti ruginya diberikan kepada ahli warisnya
c. Penggantian akibat kecelakaan ditambah dengan hak-hak atas perawatan.
(3). Kapal
tenggelam
Pada umumnya hampir semua kapal yang beroperasi diasuransikan. Awak kapal termasuk
nahkoda dijaminkan P&I Club (Protection
and Indernity Club). Jaminan yang diberikan kepada ABK disesuaikan dengan perundang–undangan
negara mengenai ABK yang bersangkutan. Jadi jika kapal tenggelam tidak akan
memberatkan perusahaannya. Ketentuan Pasal 452g KUHD, bahwa perusahaan wajib
memberikan ganti rugi kepada ABK berupa:
a. Jumlah upah sampai dia tiba kembali di tempat dimana PKL ditanda tangani
c. Ganti rugi akibat kelalaian
perusahaan pelayaran berupa barang milik ABK dan kerugian lainnya ( Pasal
160w KUHP).
d. Bila ABK meninggal dunia, maka
perusahaan pelayaran berkewajiban menanggung biaya penguburan atau pembuangan
jenazah ke laut (Pasal 440 KUHD).
Ø Berdasarkan pasal 30
PP. RI. No. 7 tahun 2000 tentang kepelautan menyebutkan :
(1)
Jika awak kapal setelah dirawat akibat kecelakaan kerja
menderita cacat tetap yang mempengaruhi kemampuan kerja besarnya santunan
ditentukan :
a. Cacat tetap yang
mengakibatkan kemampuan kerja hilang 100% besarnya santunan minimal
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah);
b. Cacat tetap yang
mengakibatkan kemampuan kerja berkurang besarnya santunan ditetapkan persentase
dari jumlah sebagaimana ditetapkan dalam huruf a sebagai berikut :
§ Kehilangan satu lengan
: 40%;
§ Kehilangan dua lengan :
100%;
§ Kehilangan satu telapak
tangan : 30%;
§ Kehilangan kedua
telapak tangan : 80%;
§ Kehilangaan satu kaki
dari paha : 40%;
§ Kehilangan dua kaki
dari paha : 100%;
§ Kehilangan satu telapak
kaki : 30%;
§ Kehilangan dua telapak
kaki : 80%;
§ Kehilangan satu mata :
30%
§ Kehilangan dua mata :
100%;
§ Kehilangan pendengaran
satu telinga : 15%;
§ Kehilangan pendengaran
dua telinga : 40%;
§ Kehilangan satu jari
tangan : 10%;
§ Kehilangan satu jari
kaki : 5%;
(2) Jika awak kapal kehilangan beberapa anggota
badan sekaligus besarnya santunan ditentukan dengan menjumlahkan persentase
dengan ketentuan tidak melebihi jumlah sebagaimana ditetapkan dalam ayat (1)
huruf a.
Ø Berdasarkan Pasal 31
(PP. No. 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan.)
(1) Jika awak kapal meninggal dunia di atas kapal,
pengusaha angkutan di perairan wajib menanggung biaya pemulangan dan penguburan
jenazahnya ke tempat yang dikehendaki oleh keluarga yang bersangkutan sepanjang
keadaan memungkinkan.
(2) Jika awak kapal meninggal dunia, pengusaha
angkutan di perairan wajib membayar santunan :
a. Untuk meninggal
karena sakit besarnya santunan minimal Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah);
b. Untuk meninggal
dunia akibat kecelakaan kerja besarnya santunan minimal Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
(3) Santunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan kepada ahli warisnya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
5. Hak atas pengangkutan waktu dipulangkan
B. Kewajiban Anak Buah Kapal
1.
Taat kepada
perintah atasan, teristimewa menjalankan perintah-perintah nahkoda (Pasal 384
Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
2.
Meninggalkan
kapal (turun ke darat) harus dengan ijin Nakhoda atau yang mewakilinya (Pasal 385 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
3.
Tidak
membawa barang dagangan, minum-minuman keras, dan senjata (api) di atas kapal
dalam rangka turut menciptakan keamanan dan ketertiban diatas kapal (Pasal 391
Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
4.
Melakukan
tugas tambahan atau kerja lembur jika dianggap perlu oleh Nakhoda
5.
Turut
membantu menyelamatakan kapal, penumpang, dan muatannya, dalam kecelakaan kapal
(Pasal 452/c
Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
6.
Menyediakan diri untuk nahkoda selama 3 hari setelah habis kontraknya untuk kepentingan
membuat kisah kapal (Pasal 452/b
KUHD).
Untuk dapat
bekerja sebagai awak kapal, wajib memenuhi persyaratan:
1.
memiliki
Sertifikat Keahlian Pelaut dan/atau Sertifikat Keterampilan Pelaut;
2.
berumur
sekurang-kurangnya 18 tahun;
3.
sehat
jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan yang khusus
dilakukan untuk itu;
4.
disijil.
Untuk memenuhi persyaratan
tersebut, pelaut kapal ikan Indonesia diharuskan memiliki sertifikasi
kepelautan berstandar, baik itu untuk level Nakhoda, Perwira ataupun Anak Buah
Kapal (ABK).
Sertifikat
Kepelautan :
a.
Sertifikat
Keahlian Pelaut (Certificate Of Competency / COC)
Sertifikat Keahlian Pelaut
Nautika
Sertifikat Ahli Nautika Tingkat I ( ANT I )
Sertifikat Ahli Nautika Tingkat II ( ANT II )
Sertifikat Ahli Nautika Tingkat III ( ANT III )
Sertifikat Ahli Nautika Tingkat IV ( ANT IV )
Sertifikat Ahli Nautika Tingkat Dasar ( ANT Dasar)
Sertifikat Untuk Kapal Penangkap Ikan antara Lain
Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan
Tingkat I (ANKAPIN I)
Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan
Tingkat II ((ANKAPIN Ii)
Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan
Tingkat III (ANKAPIN III)
Catatan :
Sertifikat Ahli Nautika Tingkat Dasar (ANT Dasar) adalah Sertifikat
Keahlian sebagai Rating bagian Deck.
Sertifikat Keahlian Pelaut
Teknik Permesinan
Sertifikat
Ahli Teknika Tingkat I ( ATT I )
Sertifikat
Ahli Teknika Tingkat II ( ATT II )
Sertifikat
Ahli Teknika Tingkat III ( ATT III )
Sertifikat Ahli
Teknika Tingkat IV ( ATT IV )
Sertifikat
Ahli Teknika Tingkat Dasar ( ATT Dasar)
Untuk Sertifikat Kapal Perikanan
Sertifikat Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan
Tingkat I (ATKAPIN I)
Sertifikat Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan
Tingkat II (ATKAPIN II)
Sertifikat Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan
Tingkat III (ATKAPIN III)
Catatan :
Sertifikat Ahli Teknika Tingkat Dasar (ATTDasar)
adalah Sertifikat Keahlian sebagai Rating bagian Mesin.
Sertifikat
Keahlian Pelaut Radio Elektronika
Sertifikat Ahli Elektronika I ( REKI )
Sertifikat Ahli Elektronika II ( REKII )
Sertifikat Operator Radio Umum (
ORU)
Sertifikat Operator Radio Terbatas
( ORT )
b. Sertifikat Keterampilan Pelaut ( Certificate Of Proficiency / COP)
Jenis Sertifikat Keterampilan Pelaut sebagaimana dimaksud
di atas terdiri dari:
a.
Sertifikat
Keterampilan Dasar Pelaut;
b.
Sertifikat
Keterampilan Khusus.
Sertifikat Keterampilan Dasar Pelaut sebagaimana
dimaksud dalam uraian di atas adalah Sertifikat Keterampilan Dasar Keselamatan (Basic
Safety Training).
Sedangkan Jenis Sertifikat Keterampilan Khusus sebagaimana
dimaksud terdiri dari :
a. Sertifikat Keterampilan Penggunaan Pesawat Luput
Maut dan Sekoci Penyelamat (Survival Craft dan Rescue Boats);
b. Sertifikat Keterampilan Sekoci Penyelamat Cepat (Fast
Rescue Boats);
c. Sertifikat Keterampilan Pemadaman Kebakaran Tingkat Lanjut (Advance
Fire Fighting);
d. Sertifikat Keterampilan Pertolongan Pertama (Medical Emergency First
Aid);
e. Sertifikat Keterampilan Perawatan Medis di atas Kapal (Medical Care
on Boats);
f. Sertifikat Radar Simulator;
g. Sertifikat ARPA Simulator;
3.4. Pemutusan
Hubungan Kerja
Pasal 1 angka (15) UU No 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Jadi, perjanjian kerja merupakan
dasar terciptanya hubungan hukum diantara pekerja dengan pengusaha. Hubungan
antara pekerja dan pengusaha tersebut dapat terganggu dan berpotensi
menimbulkan perselisihan, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan hak dan
kewajibannya sesuai dengan apa yang telah disepakati didalam perjanjian kerja.
Pasal 1 angka (1) UU No 2 Tahun
2004, menyatakan bahwa perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja (buruh)/serikat pekerja (serikat buruh) karena adanya
perselisihan mengenai hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan. Selanjutnya
dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa jenis-jenis perselisihan hubungan industrial
meliputi; perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/buruh hanya dalam satu
perusahaan.
Proses penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dapat dilakukan melalui mekanisme bipatrit, mediasi,
konsiliasi dan arbitrsi. Lebih lanjut, dalam Pasal 8 UU No 2 Tahun 2004,
menyebutkan bahwa penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh
mediator di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Dengan demikian dapat diketahui bahwa, pihak
Disnakertrans merupakan pihak ketiga dalam proses penyelesaian perselisihan
antara pekerja dan pengusaha di tingkat mediasi.
Sementara itu, terkait dengan
dasar hubungan kerja yang tercipta antara perusahaan penangkapan ikan dengan
ABK adalah PKL (Perjanjian Kerja Laut) yang diatur didalam KUHD (Kitab
Undang-undang Hukum Dagang). Pada Pasal 395 KUHD menyebutkan , PKL (Perjanjian
Kerja Laut) ialah perjanjian yang dibuat antara seorang pengusaha kapal di satu
pihak dan seorang buruh di pihak lain, dengan mana pihak tersebut terakhir
menyanggupi untuk bertindak di bawah perintah pengusaha
itu melakukan pekerjaan dengan mendapat upah,
sebagai nahkoda atau anak-kapal. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam
suatu PKL juga terpenuhi unsur-unsur dari suatu perjanjian kerja pada umumnya,
yaitu: adanya pekerjaan, perintah dan upah. Atas dasar inilah, maka dapat
disimpulkan bahwa pihak Disnakertrans juga memiliki kewenangan dalam menyelesaikan
perselisihan antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK, dengan berdasarkan
pada UU Nomor 2 Tahun 2004. PKL berakhir dapat terjadi karena berbagai alasan antara lain :
1.
Alasan
Wajar / biasa (psl 1603 KUH Perdata)
a.
Masa
pkl telah berakhir, dan PKL bisa di perpanjang
b.
Pelaut
meninggal dunia
c.
Persetujuan
kedua belah pihak
d.
Perjanjian
tidak sah
e.
Salah
satu pihak tidak setuju selama masa percobaan
f.
Perusahaan
dilikuidasi
2.
Alasan
mendesak untuk majikan (psl 1603 KUH Perdata dan 418).
a.
ABK menganiaya
Nakhoda atau pelayar lainnya.
b.
Pelaut
datang terlambat atau tidak datang ke kapal tanpa ijin Nakhoda
c.
Menyelundupkan
barang tanpa sepengetahuan Nakhoda atau pengusaha kapal
d.
Memberi
keterangan palsu sehubungan dengan PKL nya.
e.
Kurang
cakap, suka mabuk minuman, bertingkah laku tidak senonoh walaupun sudah
diperingatkan,
f.
Melakukan
pencurian, pengelapan, dan kejahatan lainnya
g.
Merusak
barang milik majikan secara sengaja.
h.
Menolak
perintah dan melalaikan perintah yang merupakan tanggung jawabnya.
3. Surat keterangan berhenti
Pada tiap akhir PKL pengusaha / majikan wajib memberikan surat keterangan
berhenti bila dikehendaki oleh pelaut, pada surat keterangan berhenti
dicantumkan keterangan mengenai :
b.
Jenis
pekerjaan yang telah di lakukan pelaut.
c.
Lama
bekerja
d.
Bukti
diri pelaut
e.
Konduite
f.
Alasan
pemutusan hubungan kerja (PHK)
g.
Tanggal
dan tanda tangan
Kekhususan lainnya dari PKL
adalah, di dalam PKL diatur mengenai tempat bekerja, yang adalah di atas sebuah
kapal dan selalu berpindah-pindah, tidak dapat dipastikan di mana daerah yang
menjadi tujuan, serta di mana perselisihan tersebut terjadi, tidak bisa
ditentukan. Misalnya, ABK yang bekerja pada perusahaan pelayaran, dimana tujuan
dari perusahaan pelayaran selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ketempat
lainnya, sehingga kapan dan dimana terjadi perselisihan antara ABK dengan pihak
perusahaan tidaklah tentu, sehingga apabila terjadi perselisihan di daerah yang
bukan tempat PKL tersebut dibuat, maka yang digunakan adalah KUHD sebagai dasar
hukumnya dan pihak syahbandar sebagai pihak penengahnya. Misalnya, jika PKL
dibuat di Ambon, sedangkan perselisihannya terjadi di Surabaya, maka para pihak
tidak bisa membawa persoalan ini ke pihak Disnakertrans Kota Ambon untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut.
Sementara itu, pada perusahaan
penangkapan ikan kekhususan tersebut tidak nampak, dimana pada perusahaan
penangkapan ikan telah diketahui tujuannya dalam berlayar adalah untuk
menangkap ikan pada wilayah-wilayah penangkapan ikan yang berada di perairan
Indonesia. Misalnya, perusahaan penangkapan ikan-PT Nusantara Fihery yang
berkantor di kota Ambon, tujuannya telah jelas diketahui, yaitu dari
pangkalannya di Kota Ambon menuju wilayah penangkapan ikan (misalnya di wilayah
perairan Banda), setelah itu kembali lagi ke pangkalannya di Kota Ambon.
Sehingga bila terjadi perselisihan antara ABK dengan nahkoda maupun pihak
perusahaan, dapat ditentukan tempat perselisihannya. Jika terjadi perselisihan
pada saat kapal sedang melakukan operasi penangkapan ikan di laut, maka proses
penyelesaiannya dapat dilakukan setelah kapal kembali lagi ke pangkalan atau
kantornya di Kota Ambon.
Dengan demikian, terkait dengan
ABK yang bekerja pada perusahaan penangkapan ikan seperti PT Nusantara Fishery,
sifat kekhususan dari PKL tidaklah nampak. Atas dasar inilah, maka menurut
penulis, sifat kekhususan yang dimiliki oleh ABK dan PKL pada umumnya tidak
melekat pada seorang ABK yang bekerja pada perusahaan penangkapan ikan, maupun
PKL yang dibuat antara perusahaan penangkapan ikan dengan ABK. Sebaliknya, yang
nampak dari ABK dan PKL yang dibuat dengan perusahaan penangkapan ikan, adalah
lebih menunjukan ciri-ciri dari seorang pekerja pada umumnya.
Terhadap kenyataan ini, maka
menurut Soekanto, pelaksanaan asas lex specialis derogat legi
generali tidak hanya sebatas ketentuan khusus menyampingkan
ketentuan yang sifatnya umum (sederajat), dimana terhadap peristiwa khusus
wajib juga diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa itu, walaupun
bagi peristiwa khusus tersebut dapat pula diberlakukan undang-undang yang
menyebutkan peristiwa yang lebih luas atau lebih umum, yang juga dapat mencakup
peristiwa khusus tersebut (1983:12). Dengan tetap berdasar pada asas lex
specialis derogat legi generali (ketentuan yang khusus menyampingkan ketentuan yang sifatnya umum) terkait dengan dualisme pengaturan mengenai proses PHK perusahaan penangkapan
ikan terhadap ABK, maka dapat digunakan ketentuan yang sifatnya umum (UU No 2
Tahun 2004) dan khusus (KUHD) secara bersama untuk saling mengisi kekosongan
hukum dalam menyelesaikan yang terjadi antara ABK dengan Perusahaan, dengan
melibatkan pihak Syahbandar dan pihak Disnakertrans secara bersama-sama sebagai
pihak ketiga atau penengah di tingkat mediasi.
Ada dua pihak yang merasa
memiliki kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan diantara perusahaan
penangkapan ikan dengan ABK, yaitu pihak Disnakertrans yang diberi kewenangan
oleh UU No 2 Tahun 2004 dan pihak Syahbandar yang diberi kewenangan oleh KUHD.
Dengan demikan, dalam proses penyelesaian PHK perusahaan penangkapan ikan
dengan ABK, maka penyelesaiannya dapat didasarkan pada KUHD dengan UU No 2 Tahun
2004 secara bersama-sama, dengan melibatkan pihak Syahbandar dan pihak
Disnakertrans sebagai pihak ketiga dalam proses penyelesaiannya.