Minggu, 22 Agustus 2021

DASAR HUKUM LAUT INDONESIA

 Pengertian Hukum Laut

Hukum Laut adalah himpunan peraturan-peraturan termasuk perintah- perintah dan larangan-larangan yang bersangkut paut dengan lingkungan Laut dalam arti luas, yang mengurus tata tertib dalam masyarakat Laut dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu (Jordan Eerton,2004).

Sejarah Hukum Laut Internasional

UNCLOS I (1958) di Genewa, UNCLOS II (1960), UNCLOS III (1982) di Montego Bay, Jamaica. Sebagian besar hasil perjuangan bangsa Indonesia mengenai hukum laut Internasional tercantum dalam konfrensi PBB tentang hukum laut yang dikenal dengan United Nation Conferention on The Law of The Sea (Unclos) III tahun 1982 yang selanjutnya disebut hukum laut (Hukla) 1982. 

Deklarasi Djuanda

Deklarasi Djuanda dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja. Bunyi dari Deklarasi Djuanda yaitu “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia”. Konsepsi negara kepulauan terdapat di dalam konvensi hukum laut 1982 dan UU no 4 PRP tahun 1960.

Dua konsepsi dasar tentang lautan yang berkembang sejak abad XVII yaitu :
1. Res Nullius : yang menyatakan bahwa lautan itu tidak ada yang memiliki, karena itu negara atau bangsa yang berdekatan boleh memilikinya.
2. Res Comunis : yang menyatakan bahwa lautan itu adalah milik bersama, karena itu tidak boleh dimiliki oleh negara atau bangsa manapun. Dalam hal ini Rezim hukum laut yang dimaksudkan ternyata cenderung terpengaruh oleh konsepsi dasar Res Nulius meskipun terbatas (3 mil laut).

Perbedaaan wilayah laut Indonesia sebelum Deklarasi Djuanda dan setelah konsepsi negara kepulauan diterima dan terdapat di dalam konvensi hukum laut (UNCLOS) 1982 


Pembagian Wilayah Laut Indonesia 

Sesuai dengan Hukum Laut Internasional yang telah disepakati oleh PBB tahun 1982 berikut ini adalah pembagian wilayah laut menurut konvensi Hukum Laut PBB :

1.    Perairan Pedalaman (Internal Water)

Perairan pedalaman adalah bagian dari laut yang berkaitan langsung dengan daratan yang dipandang sebagai bagian dari daratan tersebut. Perairan pedalaman ini secara geometrik merupakan perairan yang ada di dalam teluk, sungai dan pelabuhan. Menurut pasal 8 UNCLOS 1982 Internal water (laut pedalaman) adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut. Sedangkan pasal 3 ayat (4) UU No. 6/1996 menegaskan bahwa perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.

2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Sea)

Perairan kepulauan adalah perairan yang ada di dalam wilayah negara yang dibatasi oleh batas perairan pedalaman (closing line) dan garis dasar.  

3. Laut Teritorial (Territorial Sea)

Laut Teritorial adalah bagian laut selebar 12 mil yang diukur dari garis dasar ke arah laut. Dalam wilayah laut teritorial ini pemerintah memiliki kedaulan penuh atas wilayah laut teritorial dan berlak hak   linta laut   dama bagi kepentingan internasional. Negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (Pasal 3 Konvensi Hukum laut 1982).

4. ZEE  (200 mil) (Zone Economic Exclusive)

ZEE adalah bagian laut selebar 200 mil dari garis dasar (Pasal 57 Konvensi Hukum laut 1982). Zona ekonomi eksklusif adalah daerah di luar dan berdamping dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus di mana terdapat hak-hak dan yurisdiksi negara pantai, hak dan kebebasan negara lain yang diatur oleh konvensi.

5. Laut Bebas  (High Sea)

Laut lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara dan perairan kepulauan dalam Negara kepulauan (Pasal 86 Konvensi Hukum Laut 1982).

Gambar. Pembagian Wilayah Laut Menurut UNCLOS 1982

Alur Laut Kepulauan Indonesia

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
 adalah alur laut yang ditetapkan sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan berdasarkan konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan alur untuk pelayaran dan penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing diatas laut tersebut untuk dilaksanakan pelayaran dan penerbangan damai dengan cara normal. Penetapan ALKI dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan internasional dapat terselenggara secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan ruang udara teritorial Indonesia. ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. ALKI menjadi sangat penting karena letak posisi NKRI antara 2 benua dan 2 samudera menjadikan posisi yang sangat strategis dalam berbagai sudut pandang. Semua kapal dan pesawat udara asing yang mau melintas ke utara atau ke selatan harus melalui ALKI.

ALKI adalah alur laut kepulauan yang melalui perairan kepulauan Indonesia yang ditetapkan oleh Pemerintah NKRI dengan IMO pada tanggal 19 mei 1998.
ALKI merupakan konsensus yang ditetapkan pada Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002 dengan membagi wilayah Indonesia untuk dilewati oleh 3 jalur ALKI yaitu:
  1. ALKI I : Selat Sunda – Selat Karimata – Laut Jawa – Laut Cina Selatan
  2. ALKI II : Selat Lombok – Selat Makassar – Laut Sulawesi
  3. ALKI III-A : Laut sawu – Selat Ombai – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – LAut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik
    ALKI III-B : Laut Timor – Selat Leti – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – Laut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik
    ALKI III-C : Laut Arafuru – Laut Banda (Barat Pulau Buru) – Laut Seram (Timur Pulau Mongole) – Laut Maluku – Samudera Pasifik 

Gambar. Peta Jalur ALKI di Indonesia

Peraturan mengenai penentuan jalur ALKI baru diatur lebih lanjut dalam UNCLOS’82 pasal 53 ayat 1, yaitu ” suatu Negara Kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan yang cocok untuk digunakan lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya. Ada 19 (sembilan belas) persyaratan yang harus dipatuhi oleh kapal dan pesawat udara yang melaksanakan hak lintas Alur Kepulauan Indonesia meliputi :

  1. Kapal-kapal di ALKI tidak akan mengganggu atau mengancam kedaulatan, integritas teritorial atau kemerdekaan dan persatuan nasional Indonesia. Kapal-kapal tersebut tidak akan melaksanakan setiap tindakan yang berlawanan dengan pirnsip-prinsip hukum internasional seperti yang ditetapkan dalam piagam PBB.
  2. Pesawat terbang di dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan tidak dibolehkan untuk terbang di luar alur laut (diatas atau dengan pengecualian rejim ICAO) dan pesawat terbang tidak diijinkan terbang terlalu dekat dengan pulau-pulau atau daratan di dalam teritorial Indonesia, termasuk daerah dalam ALKI.
  3. Pesawat terbang sipil asing yang melalui ALKI harus mengikuti aturan-aturan penerbangan sipil internasionl seperti yang ditetapkan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization).
  4. Kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing ketika sedang melewati alur laut, tidak dibolehkan melaksanakan latihan perang-perangan.
  5. Kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing, yang merupakan satuan-satuan kapal perang asing, di samping kepal-kapal yang menggunakan tenaga nuklir, yang sedang melewati alur laut, diharapkan untuk memberitahukan kepada Pemerintah Indonesia (yaitu Panglima TNI) terlebih dahulu untuk kepentingan keselamatan pelayaran dan untuk mengambil tindakan pemulaan yang diperlukan jika terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan.
  6. Kapal-kapal yang membawa bahan nuklir diharuskan mempunyai peralatan perlindungan keamanan dan tetap berhubungan dengan TNI AL, sesuai dengan konvesi perlindungan fisik bahan-bahan nuklir.
  7. Pesawat terbang militer asing yang terbang di atas ALKI harus memperhatikan keselamatan penerbangan sipil dan tetap berhubungan dengan ATC (Air Traffic Control) yang berwenang di samping memantau frekuensi darurat.
  8. Kapal-kapal asing atau pesawat terbang yang sedang transit sebaiknya bergerak secara hati-hati di ALKI yang penuh dengan kegiatan ekonomi (baik perikanan atau pertambangan). Untuk itu, kapal atau pesawat terbang yang sedang transit memperhatikan aturan-aturan yang menetapkan batas daerah pelayaran 1.250 m dari instalasi minyak dan gas, dan dilarang memasuki batas daerah aman 500 m sekitar instalasi minyak dan gas dan selalu memperhatikan dan berhati-hati terhadap pipa dan kabel laut.
  9. Kapal-kapal ikan asing harus tetap menyimpan peralatan penangkapan ikan sewaktu transit, dan dilarang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan ketika transit.
  10. Kapal-kapal yang melintas transit diperairan alur laut harus berhati-hati dan harus menggunakan peraturan sistem keselamatan navigasi internasional, serta dapat menunjukkan kemampuan sebagaimana kapal setempat atau sebagaimana nelayan dan pelaut setempat.
  11. Setiap kapal-kapal yang melintas transit dilarang membuang benda-benda sisa beracun atau benda berbahaya seperti sampah di perairan Indonesia.
  12. Setiap kapal dilarang untuk melakukan pembersihan tangki-tangki kapal atau mengotori wilayah perairan Indonesia di saat melakukan lintas transit.
  13. Pada saat kapal-kapal melintas tidak diizikan untuk berhenti atau membuang sauh atau bergerak dengan formasi zig-zag berbolak-balik kecuali bila menghadapi situasi darurat atau situasi sulit.
  14. Kapal-kapal yang melintas transit tidak diizinkan untuk menurunkan personel, material atau melakukan pemindahan/transfer personel dari dan ke kapal lain atau melayani berbagai kegiatan yang bertentangan dengan aturan-aturan keimigrasian, kepabeanan dan perekonomian ataupun kondisi kesehatan di wilayah Indonesia.
  15. Kapal-kapal dan pesawat terbang yang melintas transit tidak diizinkan untuk memberikan bantuan dan pelayanan pada pekerjaan survei atau penelitian ilmu pengetahuan kelautan, termasuk melakukan pengambilan contoh yang bertujuan untuk melakukan penyelidikan bersamaan dengan saat melintas, tidak seharusnya melakukan kegiatan yang berbentuk aktivitas survei atau penelitian ilmu pengetahuan kelautan meliputi perairan alur laut Indonesia dan juga wilayah yang berada diatasnya.
  16. Kapal-kapal dan pesawat terbang yang melintas transit dilarang melakukan pemancaran siaran-siaran yang tidak mendapat ijin atau memancarkan gelombang elektromagnetik yang dimungkinkan akan mengganggu sistem telekomunikasi nasional dan dilarang mengadakan komunikasi langsung dengan pihak-pihak perorangan atau kelompok-kelompok yang tidak memiliki ijin resmi di wilayah Indonesia.
  17. Kapal-kapal yang melintas transit harus selalu memenuhi peraturan keselamatan navigasi internasional yang telah ditentukan.
  18. Awak kapal yang memiliki muatan kapal dapat dikenakan denda baik secara individu maupun secara kelompok bila menimbulkan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh mereka. Mereka harus mempunyai nilai asuransi yang cukup mampu untuk membayar atas kerusakan yang ditimbulkannya, termasuk kerusakan lingkungan laut sebagai akibat dari kerusakan lingkungan.
  19. Untuk tujuan keselamatan navigasi dan untuk keselamatan di wilayah Indonesia, maka setiap kapal tanker asing, kapal penjelajah yang menggunakan energi nuklir, kapal penjelajah asing yang membawa muatan yang mengandung nuklir atau material berbahaya lain, kapal ikan asing dan termasuk kapal perang asing yang melintas di perairan Indonesia dari perairan ZEE atau dari wilayah laut lepas atau dari perairan ZEE menuju keperairan laut lepas dan melintasi perairan Indonesia hanya diijinkan melintas melalui alur laut yang sudah ditentukan.